Cerita Rakyat Di Pulau Asei Kab Jayapura,Papua
Pulau Asei,kab Jayapura,Papua |
Danau Sentani tidak akan pernah kehabisan pesonanya sebagai danau terbesar di Papua. Di danau tersebut terdapat beberapa pulau, salah satunya yang sering dikunjungi wisatawan adalah Pulau Asei. Sama seperti Pulau Samosir yang berada di tengah danau, Pulau Asei juga berada di tengah Danau Sentani. Pulau ini dihuni oleh Suku Asei. Dalam cerita rakyat yang dipercaya oleh masyarakat Asei. Mereka percaya bahwa Pulau Asei ini dahulunya adalah ular yang besar. Dan mereka seolah-olah berjalan di atas punggungnya.
Pulau Asei merupakan rumah dari kerajinan khas Papua, yaitu lukisan kulit kayu. Kampung Asei termasuk salah satu kampung tua di Sentani. Di huni sekitar 300 penduduk, yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Sejarah lukisan kulit kayu tersebut terbilang panjang. Dahulu, para warga, terutama bangsawan, mengenakan pakaian adat yang bahannya diperkaya oleh unsur kulit kayu. Nah, para pembuat pakaian biasa menggambar pada pakaian tersebut. Dari sinilah kerajinan melukis kulit kayu berkembang. Budaya melukis di kulit kayu ini ternyata sudah ada sejak tahun 1600-an, dan diajarkan secara turun temurun.
Budaya melukis kayu sempat menghilang lantaran masuknya budaya tekstil untuk pakaian. Pada masa itu, pengrajin Pulau Asei berubah haluan menjadi pengrajin tekstil. Kegiatan melukis kayu baru kembali marak pada 1971. Lukisan ini pun menyimpan keindahan yang tidak terbantahkan. Motifnya biasanya bercerita tentang kehidupan dan penggambaran hewan-hewan di dalam keseharian mereka. Salah satu motif yang paling terkenal adalah fouw. Fouw adalah motif milik keluarga raja yang bentuknya berupa garis membentuk spiral. Makna dari simbol ini adalah ikatan kebersamaan dan kekeluargaan.
Lukisan yang mempunyai ciri khas kulit kayu sebagai media kanvasnya ini terkenal sangat alami, bahkan punya warna yang berasal dari bahan-bahan alami. Untuk membuat sebuah lukisan kayu ternyata tidak mudah. Bahan yang diperlukan cukup banyak, lengkap dengan persiapan yang cukup rumit. Untuk bahan, jenis kulit kayu yang digunakan adalah kayu dari pohon khombouw. Pohon khombouw yang batangnya berdiameter tak kurang dari 15 cm, kemudian ditebang untuk dikuliti. Kulit bagian luar dikikis, untuk kemudian ditumbuk di atas batu dengan menggunakan besi. Usai proses penumbukkan, kulit bisa dibilas dan dibersihkan. Langkah selanjutnya adalah mengeringkan kulit dengan cara dijemur. Baru, setelah kulit kayu mengering, para pengrajin mulai melukis dengan menggunakan kapur dan racikan pewarna dari daun dan getah. Biasanya pengrajin menggunakan kapur sebagai pewarna putih, arang untuk pewarna merah, dan bata merah untuk warna merah.
Para wisatawan yang datang ke Pulau Asei, biasanya menjadikan lukisan kayu ini sebagai salah satu oleh-oleh khas dari Papua. Anda pun bisa membelinya jika tertarik. Bentuknya macam-macam, mulai dari pembatas buku, kartu pos kulit kayu, hingga lembaran-lembaran besar yang bisa dibingkai untuk penghias dinding. Soal harga bervariasi, mulai dari Rp 5.000-Rp 75.000 semua tergantung model, ukuran, dan tingkat kesulitan saat proses pembuatan. Selain kerajinan, Di pulau ini terdapat Gereja Kristen tertua di Sentani dibangun pada 1956. Ada monumen yang memperingati masuknya Injil di Papua pada bulan Juli. Yang menarik adalah setiap tahun diadakan perayaan besar yang dihadiri oleh berbagai suku yang tinggal di luar pulau tersebut. Gereja itu berada tepat di atas bukit, sehingga dari halaman gereja Anda bisa memandang lepas ke arah danau.
Belum selesai dengan uniknya Pulau Asei, kisah-kisah bersejarah dari perang dunia pun telah menunggu untuk ditelusuri. Asei memang menjadi salah satu tempat dimana artefak-artefak peninggalan Perang Dunia ke-2 dapat disaksikan langsung. Beberapa jenis senjata mesin, tangki-tangki bahan bakar, dan berbagai artefak lainnya tersebar di seluruh wilayah pulau. Hal ini wajar, mengingat keberadaan tentara sekutu di wilayah danau Sentani selama Perang Dunia ke-2
Ko prnh ke situ '_'?
BalasHapusBelum kak.. in sya Allah
Hapus